A. Latar
Belakang
Al-qur’an merupakan sumber
ilmu yang tak kan habis-habisnya untuk di kaji dan di teliti, Al-Qur’an merupakan panduan
dasar bagi umat Islam selain al-Hadis dalam menetapan hukum Islam. al-Qur’an memiliki kekayaan dimensi hukum, baik
dalam hal sifat universalitasnya maupun bentuk pola-pola hukum syara’.
Dalam kerangka itu, dalam menetapkan dan
menggali hukum Islam yang tertuang dalam al-Qur’an, tentunya
dibutuhkan alat untuk mengupas dimensi hukumnya. Al-Nasakh Wa al-Mansukh
sebagai salah satu bagian dalam kajian ulumul Qur’an, memiliki
kontribusi yang sangat penting, sebab dengan memahaminya kita akan mampu
memahami apakah hukum yang termaktum dalam ayat-ayat Qur’an tersebut masih berlaku atau tidak.
Oleh karena itu, makalah ini mencoba
menguraikan sebagian dari kajian Al-Qur'an yaitu tentang apa itu nasakh,
Dasar hukum, rukun,syarat dan juga kemungkinan terjadinya Nasakh
tersebut.
B. Rumusan Masalah
1.
Apa yang dimaksud dengan Nasakh ?
2.
Apa saja rukun dan syarat dari Nasakh ?
3.
Bagaimana kemungkinan terjadinya Nasakh ?
C. Tujuan
Tujuan dari pembuatan makalah ini untuk mengetahui hal-hal tentang definisi
dari nasakh dan kemungkinan
terjadinya nasakh tersebut.
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Penegertian Nasakh
Secara etimologis kata nasakh di dalam bahasa arab diartikan
dengan “التبدل” (mengubah,mengganti), “الرفج” (penghapusan) atau disebut dengan “الازالة”
(menghilangkan) dan sama pula artinya dengan “الإبطال” (pembatalan). Dan ada pula yang
mengartikan nasakh dengan “النقل” yaitu, memindahkan atau mengganti.
Kemudian, Nasakh
menurut istilah syara’ atau yang diartikan oleh para ulama ushul fiqh terdapat
beberapa definisi yang pada dasarnya tidak terdapat beberapa prinsipil, kecuali
berbeda dalam redaksional. Diantara definisi tersebut dapat dikemukakan pada
uraian berikut ini :
a.
Zaky al-Din Sya’ban mendefinisikan nasakh sebagai berikut :
Penghapusan ketentuan
hukum syara’ dengan suatu dalil syara’
yang (datang) kemudian daari ketentuan hukum semula.
b.
Abdul Karim Zaidan, mendefinisikan nasakh sama sebagai berikut:
Penghapusan ketentuan
hukum syara’ yang semula dengan suatu dalil syara’ yang (datang) kemudian
disebut dengan nasikh dengan
ketentuan hukum semula disebut dengan mansukh, sementara penghapusan hukum
tersebut dengan nasakh.
c.
Abdul Wahab Khalaf, memberikan definisi
tentang nasakh ini :
Nasakh
ialah
pembatalan pengamalan (penggunaan) hukum syara’ dengan suatu ketentuan dalil
yang datang kemudian. Pembatalan tersebut baik secara jelas atau samar-samar,
secara kulliy atau juziy karena adanya ketentuan yang dikehendaki.
d.
Muhammad bin Umar al-Khabbaziy
menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan Nasakh
ialah:
Nasakh ialah
penjelsan berakhirnya masa berlaku ketentuan hukum syara’ yang didasarkan menurut perkiraan kita dengan jalan adanya
wahyu yang datang kemudian.
Dari keempat definisi yang
telah dikemukakan di atas, dapat
disimpulkan bahwa sesungguhnya Nasakh itu
ialah menghapuskan dan membatalkan pemberlakuan suatu ketentuan hukum syara’ dan menggantinya dengan hukum syara’ yang baru. Mengapa demikian, pada
hakekatnya, tidak seorang pun mengetahuinya, karena penghapusan suatu ketentuan
hukum syara’ dan menggantikannya
dengan ketentuan hukum syara’ yang
baru menyangkut kebijakan yang ditetapkan oleh Allah SWT. Allah maha mengetahui
apa yang terbaik bagi hamba-Nya.
Dengan
demikian, dapat dipahami bahwa nasakh hukum
syara’ itu berkaitan dengan kepentingan kehidupan umat
manusia secara keseluruhannya. Jika suatu ketentuan hukum tidak mengandung
maslahat lagi, karena’illat yang mendasarinya telah berubah atau telah hilang
serta tidak dapat menampung kebutuhan umat sebagai akibat dari perkembangan
masyarakat, maka ketentuan kumum harus diubah dan diganti dengan yang baru.
B.
Dasar Hukum Nasakh
Berdasarkan
pendapat dari kebanyakan ulama, dan memang dari sejumlah ayat Allah sendiri
menyatakan adanya nasakh tersebut. Diantaranya sebagai berikut :
Surat
al-Baqarah : 106 :
106. Ayat mana saja[81] yang Kami nasakhkan, atau Kami jadikan (manusia) lupa kepadanya, Kami
datangkan yang lebih baik dari padanya atau yang sebanding dengannya. tidakkah
kamu mengetahui bahwa Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu?
Surat
an-Nahl (16): 101 :
101. Dan apabila Kami letakkan suatu ayat di tempat ayat yang
lain sebagai penggantinya Padahal Allah lebih mengetahui apa yang
diturunkan-Nya, mereka berkata: "Sesungguhnya kamu adalah orang yang mengada-adakan
saja". bahkan kebanyakan mereka tiada mengetahui.
Surat
ar-Rad: 39 :
39. Allah menghapuskan apa yang Dia kehendaki dan menetapkan
(apa yang Dia kehendaki), dan di sisi-Nya-lah terdapat Ummul-Kitab (Lauh
Mahfuzh).
180. Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di
antara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang
banyak, Berwasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabatnya secara ma'ruf[112], (ini
adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertakwa.[1]
C.
Rukun Nasakh
Rukun
nasakh terbagi menjadi empat, yaitu :
a.
Adat an-nasakh,
yaitu pernyataan menunjukkan adanya pembatalan hukum yang telah ada.
b.
Nasikh,
adalah
dalil yang kemudian menghapus hukum yang telah ada, pada hakikatnya nasikh itu berasal dari Allah ta’ala,
karena Dia-lah yang membuat hukum dan Dia pulalah yang menghapuskannya.
c.
Mansukh,
yaitu
hukum yang dibatalkan, dihapuskan, atau dipindahkan.
D.
Syarat-syarat Nasakh
a)
Yang
dimansukhkan hendaklah hukum syara’,
yaitu hukum yang bersifat amalilah,
bukan dalil akal dan bukan juga yang menyangkut akidah.
b)
Dalil hukum
yang dinasakhkan tidak menunjukan berlakunya hukum untuk selamanya.[3]
c)
Dalil yang digunakan untuk mengangkatkan
hukum itu ialah dalil syara’ yang
datangnya kemudian dari teks hukum yang dimansukhkan hukumnya.
d)
Janganlah hukum yang diangkatkan itu
berkaitan dengan suatu waktu tertentu. Sebagai contoh firman Allah SWT :
‘
109. Maka ma'afkanlah dan biarkanlah mereka, sampai Allah
mendatangkan perintah-Nya[82].[4]
E.
Kemungkinan Terjadinya Nasakh
Baik
nasakh itu diartikan pencabutan hukum lama dengan dalil baru atau penjelasan
berakhirnya masa berlaku hukum yang lama, namun secara lahir dan praktis
terlihat pada kitab syari’ yang tidak
lagi berdaya hukum karena sudah ada yang menggantikannya. Tidak lagi berdaya
hukumnya khitab syari’ itu mengandung
arti negatif yang dapat melemahkan arti kitab syari’ itu sendiri. Karenanya terdapat perbedaan pendapat tentang
kemungkinan terjadinya nasakh.
Orang-orang Yahudi menolak berlakunya nasakh dalam hubungannya dengan hak
Allah SWT. Mereka mengatakan bahwa nasakh
tidak boleh terjadi. Al-Sarkhisi merinci lebih lanjut bahwa pendapat di
kalangan orang yahudi itu ada dua, satu kelompok tidak menerima kemungkinan nasakh secara akal. Mereka beralasan
bahwa perintah untuk melakukan sesuatu menunjukkan baiknya sesuatu yang
diperintah itu, dan larangan tentang sesuatu menunjukkan buruknya sesuatu yang
dilarang itu. Sesuatu tidak dapat dikatakan baik dan buruk. Pendapat yang
membolehkan nasakh berarti pendapat
yang membolehkan bada’, sedangkan bada’ itu tidak layak sebagai sifat
Allah SWT.
Kelompok Yahudi yang mengatakan bahwa nasakh itu hanya tidak boleh dari segi sam’i dan tauqifi, mereka berdalil dengan apa yang mereka riwayatkan Nabi
Musa yang mengatakan, “Berpeganglah tetap pada Sabat selama ada langit dan
bumi”. Syariatku tidak dinasakh-kan
sebagaimana yang kamu dakwakan.
Para ulama muslim tidak berbeda pendapat bahwa
kedatangan islam me-nasakh-kan beberapa
syari’at dari agama samawi yang datang terdahulu, karena kondisinya memang
sudah berbeda. Dalam syari’at Nabi Adam dibolehkan perkawinan antara dua orang
bersaudara kandung. Dengan hasil perkawinan itu terjadilah perkembangan
manusia. Kondisi waktu itu memang menghendaki ketentuan demikian, karena jika
tidak dibolehkan maka manusia tidak akan berkembang .
Syari’at Islam yang datang kemudian me-nasakh-kan perkawinan antara dua orang
bersaudara itu, karena umat manusia sudah berkembang biak, sehingga tidak perlu
lagi perkawinan antara saudara kandung untuk pengembangan umat manusia.
Beberapa bentuk makanan dibolehkan untuk bani israil
kecuali apa yang diharamkannya untuk dirinya. Islam membuat ketentuan lain
tentang makanan dengan hukum halal dan haram. Agama Nasrani dan agama Islam
diperbolehkan. Hari sabat itu oleh agama Nasrani diganti dengan hari minggu dan
oleh agama Islam hari Jum’at dinyatakan sebagai hari yang lebih mulia dari hari
lainnya.
Dari
penjelasan di atas dapat dipahami bahwa pada prinsipnya para ulama
menerima adanya nasakh, tetapi
terbatas pada nasakh syariat Islam
terhadap syariat agama samawi sebelumnya. Sedangkan mengenai adanya nasakh dalam syariat Islam terutama
dalam Al-Qur’an, para ulama berbeda pendapat.
Jumhur ulama berpendapat adanya nasakh dalam Al-Qur’an, namun mereka berbeda pendapat dalam
menetapkan ayat-ayat yang nasikh dan mansukh dalam Al-Qur’an.Memang menurut
lahirnya terdapat perbenturan maksud antara beberapa ayat-ayat Al-Qur’an. Ulama
yang melihat ada perbenturan antara ayat-ayat dan menyatakan berlakunya nasakh, hanya melihat adanya perbenturan
secara lahir dan tidak berusaha mengkompromikan secara maksimal. Ulama yang
mengatakan tidak ada nasakh dalam
Al-Qur’an atau ada nasakh tetapi hanya dalam jumlah yang terbatas,
mencoba semaksimal mungkin mengkompromikan ayat-ayat yang dilihatnya
berbenturan. Jika dua ayat yang berbenturan itu lama sekali tidak mungkin
dipertemukan barulah dikatakan bahwa pada ayat tersebut berlaku nasakh.
Ulama yang menolak adanya nasakh dalam Al-Qur’an
berusaha mengompromikan dua ayat yang terlihat berbeda itu sehingga tidak perlu
nasakh, sedangkan ulama lain tetap
melihat adanya nasakh dan mansukh dalam dua ayat yang bertentangan
itu. Sebagai berikut :
a)
Golongan ulama yang menolak adanya nasakh dalam Al-Qur’an yang dipelopori
Abu Muslim al-Isfahani mengumumkan argumentasi sebagai berikut :
1.
Ketentuan yang dicabut dalam nasakh itu adakalanya hukum yang sudah
berlaku tetap atau yang belum ditetapkan. Hukum yang sudah berlaku tetap
mustahil untuk dicabut sedangkan yang belum berlaku tetap tidak perlu untuk
dicabut.
2.
Suatu hukum yang telah ditetapkan Allah
adalah karena adanya maslahat atau mafsadat pada sesuatu yang dikenai hukum
itu. Sesuatu yang mengandung maslahat tidak mungkin beralih menjadi mafsadat.
3.
Bila nasakh
disebabkan karena telah berakhirnya masa berlaku suatu maslahat, maka masa
berlakunya hukum berakhir dengan berakhirnya masa berlaku maslahat itu.
4.
Kalam Allah itu bersifat qadim, dalam arti telah ada sejak dahulu
(azali). Sesuatu yang bersifat qadim tidak mungkin dicabut.
b)
Argumentasi dari golongan yang tidak
membenarkan berlakunya nasakh itu, satu persatu ditolak jumhur ulama
yang menganggap adanya nasakh, dengan pandangan sebagai berikut. :
1.
Tentang apa-apa yang dicabut dalam nasakh.
Memang apa yang dicabut itu adalah hukum yang pernah berlaku secara tetap.
Tetapi tidak berarti bahwa mencabut hukum itu adalah mencabut hukum yang
berlaku dalam kenyataan, sehingga dikatakan mustahil.
2.
Tentang berubahnya masalahat menjadi
mafsadat dalam nasakh itu adalah sesuatu yang mustahil. Tetapi
kemustahilan itu hanya terjadi bila yang terbalik itu adalah baik dan buruk
yang bersifat zati, bukan buruk dan baik atau maslahat dan mafsadat yang
dapat berubah bedasarkan perubahan situasi dan kondisi.
3.
Tentang berakhirnya hukum mansukh.
Memang hukum mansukh berakhir masa berlakunya dalam kenyataan dan Allah SWT.
Sendiri mengetahui berakhirnya masa itu. Namun bukan berarti bahwa hukum itu
mempunyai limit waktu. Hkum itu ditetapkan sesuai dengan tuntutan kemaslahatan
dan berlaku secara tetap selama mengandung kemaslahatan itu. Kalau maslahat itu
tetap ada, maka hukum pun akan terus ada.
4.
Tentang qadim-nya kalam Allah.
Memang kalam Allah itu qadim, namun nasakh yang berlawanan dengan qadim-nya kalam
Allah itu tertentu untuk nasakh
tilawah, sedangkan nasakh itu bukan hanya berlaku terhadap tilawah
saja.
c)
Jumhur ulama juga mengemukakan argumen
berupa dalil naqli dan ‘aqli yang menguatkan pendapatnya bahwa nasakh itu berlaku dalam Al-Qur’an atau
terhadap hukum islam secara umum, yaitu :
1.
Menurut segolongan ulama, Allah berbuat
secara mutlak dan tidak tunduk kepada hikmah dan tujuan. Atas dasar pendapat
ini dapat saja Allah menyuruh berbuat sesuatu dalam waktu tertentu, kemudian
melarangnya dalam waktu lain, seperti menyuruh melakukan puasa Ramadhan,
kemudian melarangnya pada hari-dari raya. Segolongan ulama berpendapat bahwa
perbuatan Allah itu mengikuti maslahat dan mudarat. Atas dasar pendapat ini
dapat saja Allah menetapkan suatu suruhan untuk melakukan sesuatu karena
mengandung kemaslahatan dalam waktu itu.
2.
Dalil naqli yang kuat adalah
Firman Allah dalam surat al-Baqarah (2): 106 :
106. Ayat mana saja[81] yang Kami nasakhkan, atau Kami jadikan
(manusia) lupa kepadanya, Kami datangkan yang lebih baik dari padanya atau yang
sebanding dengannya.
Surat
an-Nahl (16): 101 :
101. Dan apabila Kami letakkan suatu ayat di tempat ayat yang
lain sebagai penggantinya Padahal Allah lebih mengetahui apa yang
diturunkan-Nya.[5]
BAB
III
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
Secara
etimologis kata nasakh di dalam
bahasa arab diartikan dengan “التبدل” (mengubah,mengganti), “الرفج” (penghapusan)
atau disebut dengan “الازالة” (menghilangkan) dan sama pula artinya dengan “الإبطال”
(pembatalan). Dan ada pula yang mengartikan nasakh dengan “النقل” yaitu, memindahkan
atau mengganti. Dasar hukum nasakh, tardapat di dalam ayat Al-qur’an
diantaranya. (QS. al-Baqarah : 106), (QS. an-Nahl: 101), (QS. ar-Rad: 39).
Di
dalam nasakh tentunya mempunyai
beberapa rukun dan syarat untuk mengetahui lebih jelasnya terjadinya nasakh.
1.
Rukun nasakh terbagi menjadi empat, yaitu :
a)
Adat an-nasakh,
b)
Nasikh,
c)
Mansukh,
d)
Mansukh
‘anhu,
2.
Syarat nasakh terbagi menjadi
beberapa, diantaranya :
a)
Yang
dimansukhkan hendaklah hukum syara’,
yaitu hukum yang bersifat
amalilah, bukan dalil akal dan bukan juga yang menyangkut akidah.
b)
Dalil hukum
yang dinasakhkan tidak menunjukan berlakunya hukum untuk selamanya.
c)
Dalil yang digunakan untuk mengangkatkan
hukum itu ialah dalil syara’ yang
datangnya kemudian dari teks hukum yang dimansukhkan hukumnya.
d)
Janganlah hukum yang diangkatkan
itu berkaitan dengan suatu waktu tertentu.
Baik
nasakh itu diartikan pencabutan hukum lama dengan dalil baru atau penjelasan
berakhirnya masa berlaku hukum yang lama, namun secara lahir dan praktis
terlihat pada kitab syari’ yang tidak
lagi berdaya hukum karena sudah ada yang menggantikannya. Tidak lagi berdaya
hukumnya khitab syari’ itu mengandung
arti negatif yang dapat melemahkan arti kitab syari’ itu sendiri. Karenanya terdapat perbedaan pendapat tentang
kemungkinan terjadinya nasakh.
Urgensi mempelajari
Nasikh-Mansukh adalah untuk mengetahui proses tashri’(penetapan dan
penerapan hukum) islam dan untuk menelusuri tujuan ajaran, serta illat hukum
(alasan ditetapkannya suatu hukum).
B.
SARAN
Demikian makalah ini dibuat, apabila ada
kesalahan baik dalam penjelasan maupun dalam penulisan penulis mohon maaf. penulis mengharapkan
kritik dan saran yang membangun agar dapat menjadi sumber rujukan
sehingga menjadikan apa yang penulis buat ini lebih baik dimasa mendatang. karena sesungguhnya
isi makalah kami ini masih jauh dari kesempurnaan.
DAFTAR
PUSTAKA
Mansyur,
Kahar, Pokok-Pokok Ulumul Qur’an, Jakarta: PT Rineka Cipta, 1992.
Romli
SA, Muqaranah Mazahib Fil Ushul, Jakarta: Gaya Media Pertama, 1999.
Syafe’i,
Rachmat, Ilmu Ushul Fiqih, Bandung: Pustaka Media, 2010.
Syarifuddin,
Amir, Garis-Garis Besar Ushul Fiqh, Cet. 1, Jakarta: Kencana, 2012.
Syarifuddin,
Amir , Ushul Fiqh, Cet. 4, (Jakarta: Kencana, 2009.
[1]
Romli SA, Muqaranah
Mazahib Fil Ushul, (Jakarta: Gaya Media Pertama, 1999), hal. 247-249.
[2]Rachmat Syafe’i, Ilmu Ushul
Fiqih, (Bandung: Pustaka Media, 2010), hal 232.
[3]Amir syarifuddin, Garis-Garis
Besar Ushul Fiqh, Cet. 1, (Jakarta: Kencana, 2012), hal. 86.
[4]Kahar Mansyur, Pokok-Pokok
Ulumul Qur’an, (Jakarta: PT Rineka Cipta, 1992), hal.132.
[5]Amir syarifuddin, Ushul Fiqh,
Cet. 4, (Jakarta: Kencana, 2009), hal 258-271