Wednesday 11 March 2015

Nasakh

                                                        

A.    Latar Belakang
Al-qur’an merupakan sumber ilmu yang tak kan habis-habisnya untuk di kaji dan di teliti, Al-Qur’an merupakan panduan dasar bagi umat Islam selain al-Hadis dalam menetapan hukum Islam. al-Quran memiliki kekayaan dimensi hukum, baik dalam hal sifat universalitasnya maupun bentuk pola-pola hukum syara’.
Dalam kerangka itu, dalam menetapkan dan menggali hukum Islam yang tertuang dalam al-Quran, tentunya dibutuhkan alat untuk mengupas dimensi hukumnya. Al-Nasakh Wa al-Mansukh sebagai salah satu bagian dalam kajian ulumul Quran, memiliki kontribusi yang sangat penting, sebab dengan memahaminya kita akan mampu memahami apakah hukum yang termaktum dalam ayat-ayat Quran tersebut masih berlaku atau tidak.
Oleh karena itu, makalah ini mencoba menguraikan sebagian dari kajian Al-Qur'an yaitu tentang apa itu nasakh, Dasar hukum, rukun,syarat dan juga kemungkinan terjadinya Nasakh tersebut.
B.     Rumusan Masalah
1.             Apa yang dimaksud dengan Nasakh  ?
2.             Apa saja rukun dan syarat dari Nasakh  ?
3.             Bagaimana kemungkinan terjadinya Nasakh  ?

C.     Tujuan
Tujuan dari pembuatan makalah ini untuk mengetahui hal-hal tentang definisi dari nasakh  dan kemungkinan terjadinya nasakh tersebut.


BAB II
PEMBAHASAN

A.           Penegertian Nasakh
Secara etimologis kata nasakh di dalam bahasa arab diartikan dengan “التبدل” (mengubah,mengganti), “الرفج” (penghapusan) atau disebut dengan “الازالة” (menghilangkan) dan sama pula artinya dengan “الإبطال” (pembatalan). Dan ada pula yang mengartikan nasakh dengan “النقل” yaitu, memindahkan atau mengganti.
Kemudian, Nasakh menurut istilah syara’ atau yang diartikan oleh para ulama ushul fiqh terdapat beberapa definisi yang pada dasarnya tidak terdapat beberapa prinsipil, kecuali berbeda dalam redaksional. Diantara definisi tersebut dapat dikemukakan pada uraian berikut ini :
a.              Zaky al-Din Sya’ban  mendefinisikan nasakh sebagai berikut :
Penghapusan ketentuan hukum syara’ dengan suatu  dalil syara’ yang (datang) kemudian daari ketentuan hukum semula.
b.             Abdul Karim Zaidan, mendefinisikan nasakh sama sebagai berikut:
Penghapusan ketentuan hukum syara’ yang semula dengan suatu dalil syara’ yang (datang) kemudian disebut dengan nasikh dengan ketentuan hukum semula disebut dengan mansukh, sementara penghapusan hukum tersebut dengan nasakh.
c.              Abdul Wahab Khalaf, memberikan definisi tentang nasakh ini :
Nasakh ialah pembatalan pengamalan (penggunaan) hukum syara’ dengan suatu ketentuan dalil yang datang kemudian. Pembatalan tersebut baik secara jelas atau samar-samar, secara kulliy atau juziy karena adanya ketentuan yang dikehendaki.
d.             Muhammad bin Umar al-Khabbaziy menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan Nasakh ialah:
Nasakh ialah penjelsan berakhirnya masa berlaku ketentuan hukum syara’ yang didasarkan menurut perkiraan kita dengan jalan adanya wahyu yang datang kemudian.
                   Dari keempat definisi yang telah dikemukakan di atas,  dapat disimpulkan bahwa sesungguhnya Nasakh itu ialah menghapuskan dan membatalkan pemberlakuan suatu ketentuan hukum syara’ dan menggantinya dengan hukum syara’ yang baru. Mengapa demikian, pada hakekatnya, tidak seorang pun mengetahuinya, karena penghapusan suatu ketentuan hukum syara’ dan menggantikannya dengan ketentuan hukum syara’ yang baru menyangkut kebijakan yang ditetapkan oleh Allah SWT. Allah maha mengetahui apa yang terbaik bagi hamba-Nya.
Dengan demikian, dapat dipahami bahwa nasakh hukum syara’ itu   berkaitan dengan kepentingan kehidupan umat manusia secara keseluruhannya. Jika suatu ketentuan hukum tidak mengandung maslahat lagi, karena’illat yang mendasarinya telah berubah atau telah hilang serta tidak dapat menampung kebutuhan umat sebagai akibat dari perkembangan masyarakat, maka ketentuan kumum harus diubah dan diganti dengan yang baru.
B.            Dasar Hukum Nasakh
Berdasarkan pendapat dari kebanyakan ulama, dan memang dari sejumlah ayat Allah sendiri menyatakan adanya  nasakh tersebut. Diantaranya sebagai berikut :
Surat al-Baqarah : 106 :

106. Ayat mana saja[81] yang Kami nasakhkan, atau Kami  jadikan (manusia) lupa kepadanya, Kami datangkan yang lebih baik dari padanya atau yang sebanding dengannya. tidakkah kamu mengetahui bahwa Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu?
Surat an-Nahl (16): 101 :
  
101. Dan apabila Kami letakkan suatu ayat di tempat ayat yang lain sebagai penggantinya Padahal Allah lebih mengetahui apa yang diturunkan-Nya, mereka berkata: "Sesungguhnya kamu adalah orang yang mengada-adakan saja". bahkan kebanyakan mereka tiada mengetahui.
Surat ar-Rad: 39 :
  
39. Allah menghapuskan apa yang Dia kehendaki dan menetapkan (apa yang Dia kehendaki), dan di sisi-Nya-lah terdapat Ummul-Kitab (Lauh Mahfuzh).
  
180. Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, Berwasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabatnya secara ma'ruf[112], (ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertakwa.[1]
C.           Rukun Nasakh
Rukun nasakh terbagi menjadi empat, yaitu :
a.              Adat an-nasakh, yaitu pernyataan menunjukkan adanya pembatalan hukum yang telah ada.
b.             Nasikh, adalah dalil yang kemudian menghapus hukum yang telah ada, pada hakikatnya nasikh itu berasal dari Allah ta’ala, karena Dia-lah yang membuat hukum dan Dia pulalah yang menghapuskannya.
c.              Mansukh, yaitu hukum yang dibatalkan, dihapuskan, atau dipindahkan.
d.             Mansukh ‘anhu,  yaitu orang yang dibebani hukum.[2]
D.           Syarat-syarat Nasakh
a)             Yang  dimansukhkan hendaklah hukum syara’, yaitu hukum yang bersifat amalilah, bukan dalil akal dan bukan juga yang menyangkut akidah.
b)             Dalil hukum yang dinasakhkan tidak menunjukan berlakunya hukum untuk selamanya.[3]
c)             Dalil yang digunakan untuk mengangkatkan hukum itu ialah dalil syara’ yang datangnya kemudian dari teks hukum yang dimansukhkan hukumnya.
d)            Janganlah hukum yang diangkatkan itu berkaitan dengan suatu waktu tertentu. Sebagai contoh firman Allah SWT :
  
109. Maka ma'afkanlah dan biarkanlah mereka, sampai Allah mendatangkan perintah-Nya[82].[4]
E.            Kemungkinan Terjadinya Nasakh
Baik nasakh itu diartikan pencabutan hukum lama dengan dalil baru atau penjelasan berakhirnya masa berlaku hukum yang lama, namun secara lahir dan praktis terlihat pada kitab syari’ yang tidak lagi berdaya hukum karena sudah ada yang menggantikannya. Tidak lagi berdaya hukumnya khitab syari’ itu mengandung arti negatif yang dapat melemahkan arti kitab syari’ itu sendiri. Karenanya terdapat perbedaan pendapat tentang kemungkinan terjadinya nasakh.
Orang-orang Yahudi menolak berlakunya nasakh dalam hubungannya dengan hak Allah SWT. Mereka mengatakan bahwa nasakh tidak boleh terjadi. Al-Sarkhisi merinci lebih lanjut bahwa pendapat di kalangan orang yahudi itu ada dua, satu kelompok tidak menerima kemungkinan nasakh secara akal. Mereka beralasan bahwa perintah untuk melakukan sesuatu menunjukkan baiknya sesuatu yang diperintah itu, dan larangan tentang sesuatu menunjukkan buruknya sesuatu yang dilarang itu. Sesuatu tidak dapat dikatakan baik dan buruk. Pendapat yang membolehkan nasakh berarti pendapat yang membolehkan bada’, sedangkan bada’ itu tidak layak sebagai sifat Allah SWT.
Kelompok Yahudi yang mengatakan bahwa nasakh itu hanya tidak boleh dari segi sam’i dan tauqifi, mereka berdalil dengan apa yang mereka riwayatkan Nabi Musa yang mengatakan, “Berpeganglah tetap pada Sabat selama ada langit dan bumi”. Syariatku tidak dinasakh-kan sebagaimana yang kamu dakwakan.
Para ulama muslim tidak berbeda pendapat bahwa kedatangan islam me-nasakh-kan beberapa syari’at dari agama samawi yang datang terdahulu, karena kondisinya memang sudah berbeda. Dalam syari’at Nabi Adam dibolehkan perkawinan antara dua orang bersaudara kandung. Dengan hasil perkawinan itu terjadilah perkembangan manusia. Kondisi waktu itu memang menghendaki ketentuan demikian, karena jika tidak dibolehkan maka manusia tidak akan berkembang .
Syari’at Islam yang datang kemudian me-nasakh-kan perkawinan antara dua orang bersaudara itu, karena umat manusia sudah berkembang biak, sehingga tidak perlu lagi perkawinan antara saudara kandung untuk pengembangan umat manusia.
Beberapa bentuk makanan dibolehkan untuk bani israil kecuali apa yang diharamkannya untuk dirinya. Islam membuat ketentuan lain tentang makanan dengan hukum halal dan haram. Agama Nasrani dan agama Islam diperbolehkan. Hari sabat itu oleh agama Nasrani diganti dengan hari minggu dan oleh agama Islam hari Jum’at dinyatakan sebagai hari yang lebih mulia dari hari lainnya.
Dari  penjelasan di atas dapat dipahami bahwa pada prinsipnya para ulama menerima adanya nasakh, tetapi terbatas pada nasakh syariat Islam terhadap syariat agama samawi sebelumnya. Sedangkan mengenai adanya nasakh dalam syariat Islam terutama dalam Al-Qur’an, para ulama berbeda pendapat.
Jumhur ulama berpendapat adanya nasakh dalam Al-Qur’an, namun mereka berbeda pendapat dalam menetapkan ayat-ayat yang nasikh dan mansukh dalam Al-Qur’an.Memang menurut lahirnya terdapat perbenturan maksud antara beberapa ayat-ayat Al-Qur’an. Ulama yang melihat ada perbenturan antara ayat-ayat dan menyatakan berlakunya nasakh, hanya melihat adanya perbenturan secara lahir dan tidak berusaha mengkompromikan secara maksimal. Ulama yang mengatakan tidak ada nasakh dalam Al-Qur’an atau ada nasakh  tetapi hanya dalam jumlah yang terbatas, mencoba semaksimal mungkin mengkompromikan ayat-ayat yang dilihatnya berbenturan. Jika dua ayat yang berbenturan itu lama sekali tidak mungkin dipertemukan barulah dikatakan bahwa pada ayat tersebut berlaku nasakh.
Ulama yang menolak adanya nasakh  dalam Al-Qur’an berusaha mengompromikan dua ayat yang terlihat berbeda itu sehingga tidak perlu nasakh, sedangkan ulama lain tetap melihat adanya nasakh dan mansukh dalam dua ayat yang bertentangan itu. Sebagai berikut :
a)             Golongan ulama yang menolak adanya nasakh dalam Al-Qur’an yang dipelopori Abu Muslim al-Isfahani mengumumkan argumentasi sebagai berikut :
1.        Ketentuan yang dicabut dalam nasakh itu adakalanya hukum yang sudah berlaku tetap atau yang belum ditetapkan. Hukum yang sudah berlaku tetap mustahil untuk dicabut sedangkan yang belum berlaku tetap tidak perlu untuk dicabut.
2.        Suatu hukum yang telah ditetapkan Allah adalah karena adanya maslahat atau mafsadat pada sesuatu yang dikenai hukum itu. Sesuatu yang mengandung maslahat tidak mungkin beralih menjadi mafsadat.
3.        Bila nasakh disebabkan karena telah berakhirnya masa berlaku suatu maslahat, maka masa berlakunya hukum berakhir dengan berakhirnya masa berlaku maslahat itu.
4.        Kalam Allah itu bersifat qadim, dalam arti telah ada sejak dahulu (azali). Sesuatu yang bersifat qadim tidak mungkin dicabut.
b)             Argumentasi dari golongan yang tidak membenarkan berlakunya nasakh itu, satu persatu ditolak jumhur ulama yang menganggap adanya nasakh, dengan pandangan sebagai berikut. :
1.        Tentang apa-apa yang dicabut dalam nasakh. Memang apa yang dicabut itu adalah hukum yang pernah berlaku secara tetap. Tetapi tidak berarti bahwa mencabut hukum itu adalah mencabut hukum yang berlaku dalam kenyataan, sehingga dikatakan mustahil.
2.        Tentang berubahnya masalahat menjadi mafsadat dalam nasakh itu adalah sesuatu yang mustahil. Tetapi kemustahilan itu hanya terjadi bila yang terbalik itu adalah baik dan buruk yang bersifat zati, bukan buruk dan baik atau maslahat dan mafsadat yang dapat berubah bedasarkan perubahan situasi dan kondisi.
3.        Tentang berakhirnya hukum mansukh. Memang hukum mansukh berakhir masa berlakunya dalam kenyataan dan Allah SWT. Sendiri mengetahui berakhirnya masa itu. Namun bukan berarti bahwa hukum itu mempunyai limit waktu. Hkum itu ditetapkan sesuai dengan tuntutan kemaslahatan dan berlaku secara tetap selama mengandung kemaslahatan itu. Kalau maslahat itu tetap ada, maka hukum pun akan terus ada.
4.        Tentang qadim-nya kalam Allah. Memang kalam Allah itu qadim, namun nasakh  yang berlawanan dengan qadim-nya kalam Allah itu  tertentu untuk nasakh tilawah, sedangkan nasakh itu bukan hanya berlaku terhadap tilawah saja.
c)             Jumhur ulama juga mengemukakan argumen berupa dalil naqli dan ‘aqli yang menguatkan pendapatnya bahwa  nasakh itu berlaku dalam Al-Qur’an atau terhadap hukum islam secara umum, yaitu :
1.        Menurut segolongan ulama, Allah berbuat secara mutlak dan tidak tunduk kepada hikmah dan tujuan. Atas dasar pendapat ini dapat saja Allah menyuruh berbuat sesuatu dalam waktu tertentu, kemudian melarangnya dalam waktu lain, seperti menyuruh melakukan puasa Ramadhan, kemudian melarangnya pada hari-dari raya. Segolongan ulama berpendapat bahwa perbuatan Allah itu mengikuti maslahat dan mudarat. Atas dasar pendapat ini dapat saja Allah menetapkan suatu suruhan untuk melakukan sesuatu karena mengandung kemaslahatan dalam waktu itu.
2.        Dalil naqli yang kuat adalah Firman Allah dalam surat al-Baqarah (2): 106 :
  
106. Ayat mana saja[81] yang Kami nasakhkan, atau Kami jadikan (manusia) lupa kepadanya, Kami datangkan yang lebih baik dari padanya atau yang sebanding dengannya.
Surat an-Nahl (16): 101 :

101. Dan apabila Kami letakkan suatu ayat di tempat ayat yang lain sebagai penggantinya Padahal Allah lebih mengetahui apa yang diturunkan-Nya.[5]








BAB III
PENUTUP

A.    KESIMPULAN
Secara etimologis kata nasakh di dalam bahasa arab diartikan dengan “التبدل” (mengubah,mengganti), “الرفج” (penghapusan) atau disebut dengan “الازالة” (menghilangkan) dan sama pula artinya dengan “الإبطال” (pembatalan). Dan ada pula yang mengartikan nasakh dengan “النقل” yaitu, memindahkan atau mengganti. Dasar hukum nasakh, tardapat di dalam ayat Al-qur’an diantaranya. (QS. al-Baqarah : 106), (QS. an-Nahl: 101), (QS. ar-Rad: 39).
Di dalam nasakh  tentunya mempunyai beberapa rukun dan syarat untuk mengetahui lebih jelasnya terjadinya nasakh.
1.                  Rukun nasakh terbagi menjadi empat, yaitu :
a)             Adat an-nasakh,
b)            Nasikh,
c)             Mansukh,
d)            Mansukh ‘anhu,
2.                  Syarat nasakh terbagi menjadi beberapa, diantaranya :
a)             Yang  dimansukhkan hendaklah hukum syara’, yaitu hukum yang bersifat amalilah, bukan dalil akal dan bukan juga yang menyangkut akidah.
b)            Dalil hukum yang dinasakhkan tidak menunjukan berlakunya hukum untuk selamanya.
c)             Dalil yang digunakan untuk mengangkatkan hukum itu ialah dalil syara’ yang datangnya kemudian dari teks hukum yang dimansukhkan hukumnya.
d)            Janganlah hukum yang diangkatkan itu berkaitan dengan suatu waktu tertentu.
Baik nasakh itu diartikan pencabutan hukum lama dengan dalil baru atau penjelasan berakhirnya masa berlaku hukum yang lama, namun secara lahir dan praktis terlihat pada kitab syari’ yang tidak lagi berdaya hukum karena sudah ada yang menggantikannya. Tidak lagi berdaya hukumnya khitab syari’ itu mengandung arti negatif yang dapat melemahkan arti kitab syari’ itu sendiri. Karenanya terdapat perbedaan pendapat tentang kemungkinan terjadinya nasakh.
Urgensi mempelajari Nasikh-Mansukh adalah untuk mengetahui proses tashri(penetapan dan penerapan hukum) islam dan untuk menelusuri tujuan ajaran, serta illat hukum (alasan ditetapkannya suatu hukum).

B.     SARAN
            Demikian makalah ini dibuat, apabila ada kesalahan baik dalam penjelasan maupun dalam penulisan penulis mohon maaf. penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun agar dapat menjadi sumber rujukan sehingga menjadikan apa yang penulis buat ini lebih baik dimasa mendatang. karena sesungguhnya isi makalah kami ini masih jauh dari kesempurnaan.











DAFTAR PUSTAKA

Mansyur, Kahar, Pokok-Pokok Ulumul Qur’an, Jakarta: PT Rineka Cipta, 1992.
Romli SA, Muqaranah Mazahib Fil Ushul, Jakarta: Gaya Media Pertama, 1999.
Syafe’i, Rachmat, Ilmu Ushul Fiqih, Bandung: Pustaka Media, 2010.
Syarifuddin, Amir, Garis-Garis Besar Ushul Fiqh, Cet. 1, Jakarta: Kencana, 2012.
Syarifuddin, Amir , Ushul Fiqh, Cet. 4, (Jakarta: Kencana, 2009.


[1] Romli SA, Muqaranah Mazahib Fil Ushul, (Jakarta: Gaya Media Pertama, 1999), hal. 247-249.
[2]Rachmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqih, (Bandung: Pustaka Media, 2010), hal 232.
[3]Amir syarifuddin, Garis-Garis Besar Ushul Fiqh, Cet. 1, (Jakarta: Kencana, 2012), hal. 86.
[4]Kahar Mansyur, Pokok-Pokok Ulumul Qur’an, (Jakarta: PT Rineka Cipta, 1992), hal.132.
[5]Amir syarifuddin, Ushul Fiqh, Cet. 4, (Jakarta: Kencana, 2009), hal 258-271