Tuesday 20 May 2014

Makalah (Masa Khulafaur Rasidin)

Peradaban Islam Pada Masa Khulafaur Rasidin

A.    Latar Belakang
Meninggalnya Nabi Muhammad menimbulkan kekosongan dalam hal pemerintahan, karena sebelum Nabi Muhammad wafat beliau tidak berpesan siapa yang akan menggantikan posisinya. Masalah yang muncul adalah siapa yang akan menggantikan beliau dan bagaimana proses pengangkatannya. Dari sini lah timbul berbagai pendapat siapa yang akan menggantikan Rasul. Dalam pertemuan tersebut kaum Ansar mencalonkan Sa’ad bin Ubadah  pemuka Khizraj, sebagai pemimpin umat. Sedangkan kaum Muhajirin mendesak Abu Bakar sebagai calon mereka karena di pandang paling layak untuk menggantikan Nabi. Akan tetapi namanya pemerintahan akan selalu berganti seiring berjalannya waktu, seperti halnya dengan pemerintahan Abu Bakar yang selanjutnya di gantikan oleh Umar bin Khathtab, selanjutnya Usman bin Affan dan berlanjut ke Ali bin Abi Thalib, dari keempat sahabat nabi inilah yang di sebut Khulafaur Rasidin. Peradaban Islam pada masa Khulafaur Rasidin yang menjadi kajian dalam makalah kami karena pada masa Khulafaur Rasidin terdapat hal-hal yang menarik untuk di kaji seperti sejarah kelahiran Khulafaur Rasidin, pengangkatan Khulafaur rasidin sebagai khalifah dan hal apa saja yang di lakukannya dalam masa pemerintahannya. Untuk lebih jelasnya akan kami bahas dalam makalah kami yang berjudul peradaban Islam pada masa Khulafaur Rasidin.

B.     Abu Bakar Ash-Shiddiq (11-13 H/632-634 M)
1.      Kelahiran Abu Bakar As-Sidiq
Abu Bakar As-Shiddiq, nama lengkapnya ialah Abdullah bin Abi Quhafa At-Tamimi. Di zaman pra Islam bernama Abdul Ka’bah, kemudian di ganti menjadi Abdullah. Ia termasuk salah seorang seorang sahabat yang utama. Di juluki Abu Bakar karena pagi-pagi betul (orang yang paling awal memeluk Islam). Gelar Ash-Shiddiq di perolehnya karena ia dengan segera membenarkan nabi dalam berbagai peristiwa, terutama Isra’ dan Miraj.[1]
Abu Bakar merupakan orang yang pertama kali masuk Islam ketika Islam mulai di dakwakan, ia tidak segan untuk menumpahkan segenap jiwa dan harta untuk Islam. Seringkali mendampingi Rasulullah di saat-saat penting atau jika berhalangan. Nabi Muhammad SAW pun wafat, Karena tidak ada pesan mengenai siapa pengganti di kemudian hari, pada saat jenazah Nabi belum di makamkan, sejumlah tokoh Muhajirin dan Ansar berkumpul di balai kota Bani Sa’idah, Madinah. Mereka memusyawarkan siapa yang akan menjadi pemimpin.[2] Dalam pertemuan tersebut kaum Ansar mencalonkan Sa’ad bin Ubadah pemuka Khizraj sebagai pemimpin umat. Sedangkan kaum Muhajirin mendesak Abu Bakar sebagai calon mereka karena di pandang paling layak untuk menggantikan Nabi.[3]
Dalam pertemuan atau musyawarah tersebut, sebelum kaum Muhajirin datang, golongan Khijraz telah sepakat mencalonkan Salad bin Ubadah sebagai pengganti Rosul. Akan tetapi, suku Ansar belum menjawab atas pandangan tersebut, sehingga terjadilah perdebatan di antara mereka dan pada akhirnya, Sa’ad bin Ubadah yang tidak menginginkan adanya perpecahan mengatakan bahwa ini merupakan awal perpecahan. Melihat situasi yang memanas, Abu Ubadah mengajak kaum Ansar agar bersikap tenang dan toleran, kemudian Basyir bin Sa’ad Abi An-Nu bin Basyir berpidato dengan mengatakan agar tidak memperpanjang masalah ini.[4]  Dalam keadaan yang sudah tenang, ada tiga orang melakukan tidakan tegas yaitu: Abu Bakar, Umar bin Khaththab dan Abu Ubaidah din Jarrrah yang dalam melakukan semacam kudeta terhadap kelompok, memaksa Abu Bakar sendiri sebagai pengganti Nabi.
2.      Kebijakan Abu Bakar
a.      Kebijaksanaan pengurusan terhadap agama
Pada awal pemerintahannya ia diuji dengan adanya ancaman yang datang dari umat Islam sendiri yang menentang kepemimpinannya. Di antara perbuatan makar tersebut ialah timbulnya orang- orang yang murtad, orang- orang yang tidak mau membayar zakat, orang- orang yang mengaku menjadi Nabi, dan pemberontakan dari beberapa kabilah.
Abu Bakar memangku jabatan Khalifah selama dua tahun lebih sedikit, masa khalifah Abu Bakar lebih banyak terpakai untuk menstabilkan politik dalam negeri dengan adanya kemunculan Nabi palsu atau kelompok yang murtad sepeninggalan Nabi. Mereka menganggap ketika Nabi wafat maka tidak perlu lagi mengikuti ajaran yang di bawa.
Wafatnya Nabi mengakibatkan beberapa permasalahan bagi masyarakat muslim. Beberapa orang Arab yang lemah imannya justru menyatakan murtad. Mereka melakukan Riddah, yaitu gerakan pengingkaran terhadap Islam, beralih agama  dari Islam ke kepercayaan semula, secara politis merupakan pembangkangan terhadap lembaga khalifah. Sikap mereka adalah perbuatan makar yang melawan agama dan pemerintah sekaligus. Oleh karena itu khalifah dengan tegas melancarkan operasi pembersihan terhadap mereka. Mula-mula hal itu di lakukan sebagai tekanan untuk mengajak mereka kembali ke jalan yang benar, lalu berkembang mejadi perang merebut kemenangan.[5] Dalam memerangi kaum murtad, dari kalangan kaum muslimin banyak hafizh yang tewas. Di karenakan merupakan penghafal bagian-bagian Al-qur’an, Umar cemas jika angka kematian bertambah, yang berarti beberapa bagian lagi dari Al-qur’an akan musnah. Oleh karena itu, ia menasehati Abu Bakar untuk membuat sebuah kumpulan Al-qur’an. Mulanya khalifah agak ragu untuk melakukan tugas ini karena tidak menerima otaritas dari Nabi, tetapi kemudian ia memberi persetujuan dan menugaskan Zaid bin Tsabit. Menurut jalaludin As-Suyuti bahwa pengumpulan Al-quran ini termasuk salah satu jasa besar dari khalifah Abu Bakar.
b.      Pertahanan dan keamanan
Sesudah memulihkan ketertiban dalam negeri, Abu Bakar lalu mengalihkan perhatiannya untuk memperkuat perbatasan dengan wilayah Persia dan Bizantiun. Tentara Islam di bawah pimpinan oleh Musanna dan Khalid bin Walid di kirim ke Irak dan menaklukkan Hirak. Sedangkan ke Syiria, suatu negara di utara Arab yang di kuasai romawi timur (Bizantiun), Abu Bakar menguntus empat panglima, yaitu Abu Ubaidah, Yazid bin Abi sufyan, Amr bin Ash dan Syurahbil. Ketika pasukan Islam sedang mengancam Palestina, Irak, dan kerajaan Hirah dan telah meraih beberapa kemenangan yang dapat memberikan kepada mereka beberapa kemungkinan besar bagi keberhasilan selanjutnya.
c.       Sosial ekonomi
Sebuah lembaga mirip  Bait Al Mal. Di dalamnya dikelola harta benda yang di dapat dari zakat, infak, shadaqah, ghanimah dan lain- lain. Penggunaan harta tersebut digunakan untuk gaji pegawai Negara dan untuk kesejahteraan umat sesuai dengan aturan yang ada.
Pada masa Abu Bakar ini, bagi orang yang enggan enggan dan membangkang dalam membayar dapat dihukum dengan denda, bhkan dapat diperangi dan dibunuh. Hal ini dilakukan oleh Abu Bakar sepeninggal Rasulullah SAW, karena banyak suku Arab yang tidak mau membayar zakat dan hanya mau mengerjakan shalat. Abu Bakar pernah menyatakan, “ Demi Allah, Saya akan memerangi siapa pun yang membeda- bedakan zakat dan shalat “.
Khalifah Abu Bakar meninggal dunia, pada hari senin, 23 Agustus 624 M setelah lebih kurang selama 15 hari terbaring di tempat tidur. Ia berusia 63 tahun dan ke khalifahannya berlangsung 2 tahun 3 bulan 11 hari.[6]

C.    Umar Bin Khaththab (13-23 H/634-644 M)
1.      Kelahiran Umar bin Khathtab
Umar ibn Al-Khaththab yang memiliki nama lengkap Umar bi Kaththab bin Nufail bin Abd Al-Uzza bin Abdillah bin Qart bin Razali bin ‘adi bin Ka’ab bin Lu’ay . Di lahirkan di Mekkah dari keturunan Qurasy  yang terpandang dan terhormat. Ia dilahirkan empat tahun sebelum kelahiran Nabi Muhammad SAW. Ia adalah seorang yang berbudi luhur, fasih dan adil serta pemberani. Umar masuk Islam pada tahun kelima setelah kenabian, dan menjadi salah satu sahabat terdekat Nabi dan menjadi penolong yang sangat berjasa bagi beliau, serta di jadikan tempat rujukan oleh nabi mengenai hal-hal yang penting. Tercatat Umar adalah orang yang sangat keras kepada orang-orang kafir dan terlibat dalam sebagian perang yang di jalani oleh beliau. Abu Bakar juga telah menjadikan Umar sebagai orang yang selalu di ajak musyawarah dalam berbagai urusan penting dan sebagai hakim yang menetapkan humum berbagai kasus saat sang hakim tidak dapat menyelesaikan kasus-kasus yang terjadi.[7] Ia dapat memecahkan masalah yang rumit tentang siapa yang berhak menggantikan Rasulullah dalam memimpin umat setelah wafatnya Rasulullah SAW. Dengan memilih dan membai’at Abu Bakar sebagai khalifah Rasulullah sehingga ia mendapat penghormatan yang tinggi dan dimintai nasehat serta menjadi tangan kanan khalifah yang baru.[8]
2.      Pengangkatan Umar bin Khathtab sebagai khalifah
Umar bin Khathtab menjadi khalifah atas penunjukan Abu Bakar sebelum ia wafatnya dengan di awali dengan konsultasi dengan pemuka-pemuka masyarakat sahabat antara lain Abdul Rahman bin Auf, Utsman bin Affan dan Asid bin Hadhir, seorang tokoh Ansar. Konsultasi. Konsultasi ini menghasilkan persetujuan atas dipilihnya  Umar secara objektif.
Ketika Abu Bakar sakit dan merasa ajalnya sudah dekat, ia menunjuk Umar ibn Al-Khaththab sebagai penggantinya. Kendati pun hal ini merupakan perbuatan yang  belum pernah terjadi sebelumnya, tampaknya penunjukan ini bagi Abu Bakar merupakan hal yang wajar untuk dilakukan. Adapun yang menjadi pertimbangan Abu Bakar menujuk Umar menjadi khalifah adalah :
a.       Kekhawatiran peristiwa yang sangat menegangkan di balai pertemuan Bani Saidah yang nyaris menyeret umat Islam kejurang perpecahan akan terulang kembali.
b.      Kaum Ansar dan Kaum Muhajirin saling mengklaim sebagai golongan yang berhak menjadi khalifah.
c.       Umat Islam pada saat itu baru saja menumpas kaum murtad dan pembangkang.
d.      Sebagian  pasukan mujahidin sedang bertempur di luar kota Madinah melawan tentara Persia dan Romawi.
3.      Ekspansi Islam Masa Pemerintahan Kahalifah Umar ibn Al- Khattab
Selama sepuluh tahun pemerintahan Umar (13 H/ 634 M- 23 H/ 644 M), sebagian besar ditandai oleh penaklukan-penaklukan untuk melebarkan Islam ke luar Arab. Sejarah mencatat, Umar telah berhasil membebaskan negeri- negeri jajahan Imperium Romawi dan Persia yang dimulai dari awal pemerintahannya, bahkan sejak pemerintahan sebelumnya. Segala tindakan yang dilakukan untuk menghadapi dua kekuatan itu jelas bukan hanya menyangkut kepentingan keagamaan saja, namun juga untuk kepentingan politik.
Faktor- faktor yang melatarbelakangi timbulnya konflik antara umat Islam dengan Romawi dan Persia antara lain :
a.       Bangsa Romawi dan Persia tidak menaruh hormat terhadap maksud baik Islam.
b.      Semenjak Islam masih lemah, Romawi dan Persia selalu berusaha menghancurkan Islam.
c.       Bangsa Romawi dan Persia sebagai Negara yang subur dan terkenal dengan kemakmurannya, tidak berkenan menjalin hubungan perdagangan dengan negeri- negeri Arab.
d.      Bangsa Romawi dan Persia bersikap ceroboh menghasut suku- suku Badui untuk menentang Islam.
e.       Letak geografis kekuasaan Romawi dan Persia sangat strategis untuk kepentingan keamanan dan pertahanan islam.

D.    Khalifah Utsman  bin  Affan ( Tahun  23 H- 35 )
1.      Kelahiran Utsman Bin Affan
Nama  beliau  adalah  Utsman  bin  'Affan  bin  Abil 'Ash  bin  Umayyah  bin  Abdisy  Syams  bin  Abdi  Manaf bin  Qusyai  bin  Kilab. Beliau dilahirkan  pada tahun 576 M di  Mekah  enam tahun  setelah  tahun ga jah,  menurut  pendapat  yang  shahih.  Beliau  tumbuh diatas  akhlak  yang  mulia  dan  perangai  yang  baik. Beliau  sangat  pemalu,  bersih  jiwa  dan  suci  lisannya, sangat  sopan  santun,  pendiam  dan  tidak  pernah menyakiti  orang  lain.  Beliau  suka  ketenangan  dan tidak  suka  keramaian atau kegaduhan,  perselisihan, teriakan  keras.  Dan  beliau  rela  mengorbankan  nyawanya  demi  untuk  menjauhi hal-hal  tersebut.   Dan karena  kebaikan  akhlak  dan  mu'amalahnya,  beliau dicintai  oleh  Quraisy,  hingga  mereka pun menjadikannya sebagai perumpamaan. 
Dari sini Imam Asy-S ya'bi  mengatakan  :  "Dahulu  Utsman  sangat dicintai  oleh  orang-orang  Quraisy,  mereka menjadikannya  sebagai  suri  taudalan,  mereka memuliakannya.  Sampai-sampai  para  ibu  dari kalangan  orang-orang  Arab,  jika  menghibur  anaknya, dia mengatakan :   Demi Allah yang Maha Penyayang, aku mencintaimu seperti kecintaan Quraisy kepada Utsman .
Ibu Khalifah Utsman bin Affan adalah Urwy bin Kuriz bin Rabiah. Utsman bin Affan masuk Islam pada usia 30 tahun atas ajakan Abu Bakar. Sesaat setelah masuk Islam, ia sempat mendapatkan siksaan dari pamannya, Hakam bin Abil Ash. Ia dijuluki dzun nurain, karena menikahi dua putri Rasulullah SAW secara  berurutan setelah yang satu meninggal, yakni Ruqayyah dan Ummu Kalsum.
2.      Pengangkatan Khalifah Usman bin Affan
Panitia pemilihan Khalifah, memilih Usman menjadi Khalifah ketiga menggantikan Umar bin Khattab. Pemerintahan Usman bi Affan ini berlangsung dari tahun 644 sampai 656 M. ketika Usman dipilih, Usman telah tua ( 70 tahun) dengan kepribadian yang agak lemah.
Kelemahan ini dipergunakan oleh orang- orang di sekitarnya untk mengejar keuntungan pribadi, kemewahan dan kekayaan. Hal ini dimanfaatkan terutama oleh keluarganya sendiri dari golongan Umayyah. Banyak pangkat- pangkat tinggi dan jabatan- jabatn penting dikuasai oleh familinya. Pelaksanaan pemerintahan seperti ini, dalam bahasa orang sekarang disebut nepotisme (kecenderungan untuk mengutamakan atau menguntungkan sanak saudara (keluarga sendiri ).
3.      Penyebaran Islam pada Masa Khalifah Utsman Bin Affan
Pada masa pemerintahannya perluasan daerah Islam diteruskan ke Barat sampai Maroko, ke timur menuju India dan ke utara bergerak ke arah Konstantinopel. Pada umumnya perluasan wilayah Islam ini di lakukan karena memenuhi kehendak jenderal- jenderalnya.
Namun pada saat Utsman bin Affan menjabat sebagai Khalifah Utsman di tuduh oleh sebahgian sahabat telah mengangkat familinya untuk menduduki jabatan- jabatan istana. Pemberontakan di mulai di Mesir, kemudian orang- orang yang sudah terbakar emosinya datang ke Madinah, tempat tinggal Khalifah. Ia dikepung di rumahnya, karena menolak untuk menyerah maka ia dibunuh oleh salah seorang pengacau, peristiwa itu terjadi pada tahun 656 H, kemudian dipilihlah penggantinya yang akhirnya dipegang oleh Ali bin Abi Thalib.
4.      Peradaban pada masa Khalifah Utsman bin Affan
Di antara jasa- jasa Usman Bin Affan yang lain adalah tindakannya untuk menyalin dan membuat Al-Qur’an standar, yang di dalam kepustakaan disebut dengan kodifikasi al Quran.[9]
Standarisasi Al-Qur’an perlu diadakan, karena pada masa pemerintahannya wilayah Islam telah sangat luas dan didiami oleh berbagai suku bangsa dengan berbagai bahasa dan dialek yang tidak sama. Karena itu, di kalangan pemeluk agama Islam terjadi perbedaan ungkapan  dan ucapan tentang ayat- ayat al quran yang disebarkan melalui hafalan. Perbedaan cara mengucapkan itu menimbulkan perbedaan arti. Berita tentang ini sampai pada Usman. Ia lalu membentuk  Panitia yang kembali di pimpin oleh Zaid bin Tsabit untuk menyalin naskah Al-Qur’an yang telah dihimpun di masa Khalifah Abu Bakar dahulu, disimpan oleh Hafsah, janda Nabi Muhammad SAW. Panitia ini bekerja dengan satu disiplin tertentu, menyalin naskah Al-Qur’an ke dalam lima Mushaf (kumpulan lembaran- lembaran yang ditulis, dan Al- Qur’an itu sendiri disebut pula Mushaf), untuk di jadikan standar dalam penulisan dan bacaan Al-Qur’an di wilayah kekuasaan Islam pada waktu itu. Semua naskah yang dikirim ke ibukota Propinsi ( Makkah, Kairo, Damaskus, Baghdad) itu di simpan dalam masjid. Satu naskah tinggal di Madinah untuk mengenang jasa Usman, naskah yang disalin di masa pemerintahnnya itu disebut Mushaf Usmany atau al- Imam karena ia menjadi standar bagi Al-Qur’an yang lain. Kemudian disalin dan diberi tanda- tanda bacaan di Mesir seperti yang kita lihat sekarang ini. [10]

E.     Khalifah  Ali bin Abi Thalib ( Tahun 35 H- 40 H)
1.      Kelahiran Khalifah Ali bin Abi Thalib
Khalifah Ali bin Abi Thalib dilahirkan  hari Jum'at, 13 bulan Rajab, 12 tahun sebelum Nabi Muhammad SAW mendapat risalah, Sepanjang ingatan orang, inilah untuk pertama kali seorang wanita melahirkan putranya dalam Ka'bah. Kelahiran bayi ini hanya disaksikan oleh ayah bundanya saja. Kejadian yang luar biasa ini, beritanya segera tersiar ke berbagai penjuru. Berbondong- bondonglah mereka, terutama keluarga Bani Hasyim, datang ke Ka'bah, guna menyaksikan bayi yang baru lahir. Di antara yang datang ialah Nabi Muhammad SAW Bayi ini saudara misan beliau sendiri. Beliau menggendong bayi tersebut, kemudian bersama ayah-ibunya pulang ke rumah Abu Thalib.
Ketika di bawah asuhan Rasul Allah SAW Imam Ali r.a. pernah diberi julukan "Abu Turab", yang artinya "Si Tanah". Pemberian julukan itu erat kaitannya dengan peristiwa ditemuinya Imam Ali r.a. di satu hari sedang tidur berbaring di atas tanah. Yang menemuinya Nabi Muhammad s.a.w. sendiri. Beliau menghampirinya dan duduk dekat kepalanya sambil mengusap-usap punggungnya guna membuang debu-tanah. Kemudian Nabi Muhammad s.a.w. membangunkannya seraya berkata: "Duduklah, engkau hai Abu Turab!" Nama Abu Turab ini paling di sukai oleh Imam Ali r.a. Ia sangat bangga bila dipanggil dengan nama itu.[11]
2.      Proses Pengangkatan Ali bin Abi Thalib
Menurut penuturan Abu Mihnaf, sebagaimana tercantum dalam Syarh Nahjil Balaghah, jilid IV, halaman 8, dikatakan, bahwa ketika itu kaum Muhajirin dan Anshar berkumpul di masjid Rasul Allah s.a.w. Dengan harap-harap cemas mereka menunggu berita tentang siapa yang akan menjadi Khalifah baru. Masjid yang menurut ukuran masa itu sudah cukup besar, penuh sesak di banjiri orang. Di antara tokoh-tokoh muslimin yang menonjol tampak hadir Ammar bin Yasir, Abul Haitsam bin At Thaihan, Malik bin 'Ijlan dan Abu Ayub bin Yazid. Mereka bulat berpendapat, bahwa hanya Ali bin Abi Thalib r.a. lah tokoh yang paling mustahak dibai'at.  Di antara mereka yang paling gigih berjuang agar Imam Ali r.a. dibai'at ialah Ammar bin Yasir. Dalam mengutarakan usulnya, pertama-tama Ammar mengemukakan rasa syukur karena kaum Muhajirin tidak terlibat dalam pembunuhan Khalifah Utsman r.a.  Kepada kaum Anshar, Ammar menyatakan, jika kaum Anshar hendak mengkesampingkan kepentingan mereka sendiri, maka yang paling baik ialah membai'at Ali bin Abi Thalib sebagai Khalifah. Ali bin Abi Thalib, kata Ammar, mempunyai keutamaan dan ia pun orang yang paling dini memeluk Islam. Kepada kaum Muhajirin, Ammar mengatakan: kalian sudah mengenal betul siapa Ali bin Abi Thalib. Oleh karena itu aku tak perlu menguraikan kelebihan-kelebihannya lebih panjang lebar lagi, kita tidak melihat ada orang lain yang lebih tepat dan lebih baik untuk diserahi tugas itu! Usul Ammar secara spontan di sambut hangat dan didukung oleh yang hadir. Malahan kaum Muhajirin mengatakan: "Bagi kami, ia memang satu-satunya orang yang paling afdhal!" Setelah tercapai kata sepakat, semua yang  hadir berdiri serentak, kemudian berangkat bersama-sama ke rumah Imam Ali r.a.
Di depan rumahnya mereka beramai-ramai minta dan mendesak agar Imam Ali r.a. keluar. Setelah Imam Ali r.a. keluar, semua orang berteriak agar ia bersedia mengulurkan tangan  sebagai tanda persetujuan dibai'at menjadi Amirul Mukminin. Pada mulanya Imam Ali r.a. menolak dibai'at sebagai Khalifah. Dengan terus terang ia menyatakan : "Aku lebih baik menjadi wazir yang membantu dari pada menjadi seorang Amir yang berkuasa. Siapa pun yang kalian bai'at sebagai Khalifah, akan aku terima dengan rela. Ingatlah, kita akan menghadapi banyak hal yang menggoncangkan hati dan fikiran." Jawaban Imam Ali r.a. yang seperti itu tak dapat di terima sebagai alasan oleh banyak kaum muslimin yang waktu itu datang berkerumun di rumahnya. Mereka tetap mendesak atau setengah memaksa, supaya Imam Ali r.a. bersedia di bai'at oleh mereka sebagai Khalifah. Dengan mantap mereka menegaskan pendirian: "Tidak ada orang lain yang dapat menegakkan pemerintahan dan hukum-hukum Islam selain anda. Kami khawatir terhadap umat Islam, jika ke khalifahan jatuh ketangan orang lain".
Beberapa saat lamanya terjadi saling-tolak dan saling tukar pendapat antara Imam Ali r.a. dengan mereka. Para sahabat Nabi Muhammad SAW dan para pemuka kaum Muhajirin dan Anshar mengemukakan alasannya masing-masing tentang apa sebabnya mereka mempercayakan kepemimpinan tertinggi kepada Imam Ali r.a. Betapapun kuat dan benarnya alasan yang mereka ajukan Imam Ali r.a. tetap menyadari, jika ia menerima pembai'atan mereka pasti akan menghadapi berbagai macam tantangan dan kesulitan gawat. Baru setelah Imam Ali r.a. yakin benar, bahwa kaum muslimin memang sangat menginginkan pimpinannya, dengan perasaaan berat ia  menyatakan kesediaannya untuk menerima pembai'atan mereka. Satu-satunya alasan yang mendorong Imam Ali r.a. bersedia di bai'at, ialah demi kejayaan Islam, keutuhan persatuan dan kepentingan kaum muslimin. Rasa tanggung jawabnya yang besar atas terpeliharanya nilai-nilai peninggalan Rasul Allah SAW membuatnya siap menerima tanggung jawab berat di atas pundaknya. Sungguh pun demikian, ia tidak pernah lengah, bahwa situasi yang ditinggalkan oleh Khalifah Utsman r.a. benar-benar merupakan tantangan besar yang harus di tanggulangi.
Keputusan Imam Ali r.a. untuk bersedia di bai'at sebagai Amirul Mukminin di sambut dengan perasaan lega dan gembira oleh sebagian besar kaum muslimin. Kepada mereka Imam Ali r.a. meminta supaya pembai'atan dilakukan di masjid agar dapat di saksikan oleh umum. Kemudian Imam Ali r.a. juga memperingatkan, jika sampai ada seorang saja yang menyatakan terus terang tidak menyukai dirinya, maka ia tidak akan bersedia dibai'at. Mereka dapat menyetujui permintaan Imam Ali r.a., lalu ramai-ramai pergi menuju masjid. Setibanya di Masjid, ternyata orang pertama yang menyatakan bai'atnya ialah Thalhah bin Ubaidillah. Menyaksikan kesigapan Thalhah itu, seorang bernama Qubaisah bin Dzuaib Al Asadiy menanggapi: "Aku Khawatir, jangan-jangan pembai'atan Thalhah itu tidak sempurna" Ia mengucapkan tanggapannya itu karena tangan Thalhah memang lumpuh sebelah. Orang lain membiarkan komentar itu lewat begitu saja. Zubair bin Al-'Awwam segera mengikuti jejak Thalhah menyatakan bai'at kepada Imam Ali r.a. Sesudah itu barulah kaum Muhajirin dan Anshar menyatakan bai'atnya masing-masing. Yang tidak ikut menyatakan bai'at ialah Muhammad bin Maslamah, Hasan bin Tsabit, Abdullah bin Salam, Abdullah bin Umar, Usamah bin Zaid, Saad bin Abi Waqqash, dan Ka'ab bin Malik. Tata cara pembai'atan dilakukan menurut prosedur sebagaimana yang lazim berlaku atas diri Khalifah-khalifah sebelumnya. Sesuai dengan tradisi pada masa itu, sesaat setelah dibai'at
3.      Peristiwa Tahkim Pada Masa Ali bin Abi Thalib
Konflik politik antara Ali bin Abi Thalib dengan Muawwiyah Ibn Abi Sufyan diakhiri dengan Tahkim. Dari pihak Ali Ibn Abi Thalib diutus seorang ulama yang terkenal sangat jujur dan tidak “ cerdik” dalam politik yaitu Abu Musa Al Asyari. Sebaliknya dari pihak Muawiyah Ibn Abi Sufyan diutus seorang yang sangat terkenal sangat “cerdik” dalam berpolitik yaitu Amr ibn Ash.
Dalam tahkim tersebut, pihak Ali bin Abi Thalib dirugikan oleh pihak Muawiyah Ibn Abi Sufyan karena kecerdikan Amr Ibn Ash yang dapat mengalahkan Abu Musa Al Asyari. Pendukung Ali bin Abi Thalib, kemudian terpecah menjadi dua, yaitu kelompok pertama adalah mereka yang secara terpaksa menghadapi hasil Tahkim dan mereka tetap setia kepada Ali bin Abi Thalib, sedangkan kelompok yang kedua adalah kelompok yang menolak hasil Tahkim dan kecewa terhadap kepemimpinan Ali bin Abi Thalib yang kemudian melakukan gerakan perlawanan terhadap semua pihak yang terlibat dalam Tahkim, termasuk Ali bin Abi Thalib. [12]
Khalifah Ali bin Abi Thalib menjalankankan roda pemerintahannya selama lebih kurang 5 Tahun.




[1] Samsul Munir Amin, Sejarah Peradaban Islam, (jakarta: Amzah, 2009), h.93.
[2] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: Penerbit PT Raja Grafindo Persada, 2000), h. 35.
[3] Ali Mufrodi,Islam di Kawasan Kebudayaan Arab, (Jakarta: Penerbit Logos, 1997), h.45
[4] Dedi supriyadi, Sejarah Peradaban Islam, (Bandung; Penerbit CV Pustaka Setia, 2008), h 68.
[5] Samsul Munir Amin Op., Cit, h.94-95.
[6] Ibid., 96-98.
[7] Hasan Ibrahim Hasan, Sejarah dan Kebudayaan Islam, ( Jakarta: Kalam Mulia, 2001), h.407
[8] Samsul Munir Amin Op., Cit, h.98.
[9] Muhammad Daud Ali, Hukum Islam (Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia,
(Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2006), h.178-179
[10] Ibid.,
[11] Al Hamid Al Husaini, Sejarah Hidup Ali Bin Abi Thalib , (Jakarta : Lembaga Penyelidikan Islam, 1981), h. 6-7

[12] Dedi Supriyadi, Op.cit