Peradaban Islam Pada
Masa Khulafaur Rasidin
A. Latar Belakang
Meninggalnya Nabi Muhammad menimbulkan kekosongan dalam hal pemerintahan,
karena sebelum Nabi Muhammad wafat beliau tidak berpesan siapa yang akan
menggantikan posisinya. Masalah yang muncul adalah siapa yang akan menggantikan
beliau dan bagaimana proses pengangkatannya. Dari sini lah timbul berbagai
pendapat siapa yang akan menggantikan Rasul. Dalam pertemuan
tersebut kaum Ansar mencalonkan Sa’ad bin Ubadah pemuka Khizraj, sebagai pemimpin umat.
Sedangkan kaum Muhajirin mendesak Abu Bakar sebagai calon mereka karena di pandang
paling layak untuk menggantikan Nabi. Akan tetapi namanya pemerintahan akan
selalu berganti seiring berjalannya waktu, seperti halnya dengan pemerintahan
Abu Bakar yang selanjutnya di gantikan oleh Umar bin Khathtab, selanjutnya
Usman bin Affan dan berlanjut ke Ali bin Abi Thalib, dari keempat sahabat nabi
inilah yang di sebut Khulafaur Rasidin. Peradaban Islam pada masa Khulafaur
Rasidin yang menjadi kajian dalam makalah kami karena pada masa Khulafaur
Rasidin terdapat hal-hal yang menarik untuk di kaji seperti sejarah kelahiran
Khulafaur Rasidin, pengangkatan Khulafaur rasidin sebagai khalifah dan hal apa
saja yang di lakukannya dalam masa pemerintahannya. Untuk lebih jelasnya akan
kami bahas dalam makalah kami yang berjudul peradaban Islam pada masa Khulafaur
Rasidin.
B. Abu Bakar Ash-Shiddiq (11-13 H/632-634 M)
1. Kelahiran Abu Bakar As-Sidiq
Abu Bakar As-Shiddiq,
nama lengkapnya ialah Abdullah bin Abi Quhafa At-Tamimi. Di zaman pra Islam
bernama Abdul Ka’bah, kemudian di ganti menjadi Abdullah. Ia termasuk salah
seorang seorang sahabat yang utama. Di juluki Abu Bakar karena pagi-pagi betul
(orang yang paling awal memeluk Islam). Gelar Ash-Shiddiq di perolehnya karena
ia dengan segera membenarkan nabi dalam berbagai peristiwa, terutama Isra’ dan
Miraj.[1]
Abu Bakar merupakan
orang yang pertama kali masuk Islam ketika Islam mulai di dakwakan, ia tidak
segan untuk menumpahkan segenap jiwa dan harta untuk Islam. Seringkali
mendampingi Rasulullah di saat-saat penting atau jika berhalangan. Nabi
Muhammad SAW pun wafat, Karena tidak ada pesan mengenai siapa pengganti di
kemudian hari, pada saat jenazah Nabi belum di makamkan, sejumlah tokoh
Muhajirin dan Ansar berkumpul di balai kota Bani Sa’idah, Madinah. Mereka
memusyawarkan siapa yang akan menjadi pemimpin.[2]
Dalam pertemuan tersebut kaum Ansar mencalonkan Sa’ad bin Ubadah pemuka Khizraj
sebagai pemimpin umat. Sedangkan kaum Muhajirin mendesak Abu Bakar sebagai
calon mereka karena di pandang paling layak untuk menggantikan Nabi.[3]
Dalam pertemuan atau musyawarah tersebut, sebelum kaum
Muhajirin datang, golongan Khijraz telah sepakat mencalonkan Salad bin Ubadah sebagai
pengganti Rosul. Akan tetapi, suku Ansar belum menjawab atas pandangan
tersebut, sehingga terjadilah perdebatan di antara mereka dan pada akhirnya,
Sa’ad bin Ubadah yang tidak menginginkan adanya perpecahan mengatakan bahwa ini
merupakan awal perpecahan. Melihat situasi yang memanas, Abu Ubadah mengajak
kaum Ansar agar bersikap tenang dan toleran, kemudian Basyir bin Sa’ad Abi
An-Nu bin Basyir berpidato dengan mengatakan agar tidak memperpanjang masalah
ini.[4]
Dalam keadaan yang sudah tenang,
ada tiga orang melakukan tidakan tegas yaitu: Abu Bakar, Umar bin Khaththab dan
Abu Ubaidah din Jarrrah yang dalam melakukan semacam kudeta terhadap
kelompok, memaksa Abu Bakar sendiri sebagai pengganti Nabi.
2. Kebijakan Abu Bakar
a. Kebijaksanaan pengurusan terhadap agama
Pada awal pemerintahannya ia diuji dengan adanya
ancaman yang datang dari umat Islam sendiri yang menentang kepemimpinannya. Di
antara perbuatan makar tersebut ialah timbulnya orang- orang yang murtad,
orang- orang yang tidak mau membayar zakat, orang- orang yang mengaku menjadi Nabi,
dan pemberontakan dari beberapa kabilah.
Abu Bakar memangku jabatan Khalifah selama dua tahun lebih sedikit, masa
khalifah Abu Bakar lebih banyak terpakai untuk menstabilkan politik dalam negeri
dengan adanya kemunculan Nabi palsu atau kelompok yang murtad sepeninggalan Nabi.
Mereka menganggap ketika Nabi wafat maka tidak perlu lagi mengikuti ajaran yang
di bawa.
Wafatnya Nabi mengakibatkan beberapa permasalahan bagi
masyarakat muslim. Beberapa orang Arab yang lemah imannya justru menyatakan
murtad. Mereka melakukan Riddah, yaitu gerakan pengingkaran terhadap
Islam, beralih agama dari Islam ke kepercayaan semula, secara politis merupakan pembangkangan
terhadap lembaga khalifah. Sikap mereka adalah perbuatan makar yang melawan
agama dan pemerintah sekaligus. Oleh karena itu khalifah dengan tegas
melancarkan operasi pembersihan terhadap mereka. Mula-mula hal itu di lakukan
sebagai tekanan untuk mengajak mereka kembali ke jalan yang benar, lalu
berkembang mejadi perang merebut kemenangan.[5]
Dalam memerangi kaum murtad, dari kalangan kaum muslimin banyak hafizh yang
tewas. Di karenakan merupakan penghafal bagian-bagian Al-qur’an, Umar cemas
jika angka kematian bertambah, yang berarti beberapa bagian lagi dari Al-qur’an
akan musnah. Oleh karena itu, ia menasehati Abu Bakar untuk membuat sebuah
kumpulan Al-qur’an. Mulanya khalifah agak ragu untuk melakukan tugas ini karena
tidak menerima otaritas dari Nabi, tetapi kemudian ia memberi persetujuan dan
menugaskan Zaid bin Tsabit. Menurut jalaludin As-Suyuti bahwa pengumpulan
Al-quran ini termasuk salah satu jasa besar dari khalifah Abu Bakar.
b.
Pertahanan dan keamanan
Sesudah memulihkan ketertiban dalam
negeri, Abu Bakar lalu mengalihkan perhatiannya untuk memperkuat perbatasan
dengan wilayah Persia dan Bizantiun. Tentara Islam di bawah pimpinan oleh
Musanna dan Khalid bin Walid di kirim ke Irak dan menaklukkan Hirak. Sedangkan
ke Syiria, suatu negara di utara Arab yang di kuasai romawi timur (Bizantiun),
Abu Bakar menguntus empat panglima, yaitu Abu Ubaidah, Yazid bin Abi sufyan,
Amr bin Ash dan Syurahbil. Ketika pasukan Islam sedang mengancam Palestina,
Irak, dan kerajaan Hirah dan telah meraih beberapa kemenangan yang dapat
memberikan kepada mereka beberapa kemungkinan besar bagi keberhasilan
selanjutnya.
c. Sosial ekonomi
Sebuah lembaga mirip
Bait Al Mal. Di dalamnya dikelola harta benda yang di dapat dari zakat,
infak, shadaqah, ghanimah dan lain- lain. Penggunaan harta tersebut digunakan
untuk gaji pegawai Negara dan untuk kesejahteraan umat sesuai dengan aturan
yang ada.
Pada masa Abu Bakar ini, bagi orang yang enggan enggan
dan membangkang dalam membayar dapat dihukum dengan denda, bhkan dapat
diperangi dan dibunuh. Hal ini dilakukan oleh Abu Bakar sepeninggal Rasulullah
SAW, karena banyak suku Arab yang tidak mau membayar zakat dan hanya mau
mengerjakan shalat. Abu Bakar pernah menyatakan, “ Demi Allah, Saya akan
memerangi siapa pun yang membeda- bedakan zakat dan shalat “.
Khalifah Abu Bakar meninggal dunia, pada hari senin, 23 Agustus 624
M setelah lebih kurang selama 15 hari terbaring di tempat tidur. Ia berusia 63
tahun dan ke khalifahannya berlangsung 2 tahun 3 bulan 11 hari.[6]
C. Umar Bin Khaththab (13-23 H/634-644 M)
1. Kelahiran Umar bin Khathtab
Umar ibn Al-Khaththab
yang memiliki nama lengkap Umar bi Kaththab bin Nufail bin Abd Al-Uzza bin
Abdillah bin Qart bin Razali bin ‘adi bin Ka’ab bin Lu’ay . Di lahirkan di
Mekkah dari keturunan Qurasy yang
terpandang dan terhormat. Ia dilahirkan empat tahun sebelum kelahiran Nabi
Muhammad SAW. Ia adalah seorang yang berbudi luhur, fasih dan adil serta
pemberani. Umar masuk Islam pada tahun kelima setelah kenabian, dan menjadi
salah satu sahabat terdekat Nabi dan menjadi penolong yang sangat berjasa bagi
beliau, serta di jadikan tempat rujukan oleh nabi mengenai hal-hal yang penting.
Tercatat Umar adalah orang yang sangat keras kepada orang-orang kafir dan
terlibat dalam sebagian perang yang di jalani oleh beliau. Abu Bakar juga telah
menjadikan Umar sebagai orang yang selalu di ajak musyawarah dalam berbagai
urusan penting dan sebagai hakim yang menetapkan humum berbagai kasus saat sang
hakim tidak dapat menyelesaikan kasus-kasus yang terjadi.[7]
Ia dapat memecahkan masalah yang rumit tentang siapa yang berhak menggantikan
Rasulullah dalam memimpin umat setelah wafatnya Rasulullah SAW. Dengan memilih
dan membai’at Abu Bakar sebagai khalifah Rasulullah sehingga ia mendapat
penghormatan yang tinggi dan dimintai nasehat serta menjadi tangan kanan
khalifah yang baru.[8]
2. Pengangkatan Umar bin Khathtab sebagai khalifah
Umar bin Khathtab
menjadi khalifah atas penunjukan Abu Bakar sebelum ia wafatnya dengan di awali
dengan konsultasi dengan pemuka-pemuka masyarakat sahabat antara lain Abdul
Rahman bin Auf, Utsman bin Affan dan Asid bin Hadhir, seorang tokoh Ansar.
Konsultasi. Konsultasi ini menghasilkan persetujuan atas dipilihnya Umar secara objektif.
Ketika Abu Bakar sakit dan merasa ajalnya sudah dekat,
ia menunjuk Umar ibn Al-Khaththab sebagai penggantinya. Kendati pun hal ini
merupakan perbuatan yang belum pernah
terjadi sebelumnya, tampaknya penunjukan ini bagi Abu Bakar merupakan hal yang
wajar untuk dilakukan. Adapun yang menjadi pertimbangan Abu Bakar menujuk Umar
menjadi khalifah adalah :
a. Kekhawatiran peristiwa yang sangat menegangkan di balai pertemuan Bani
Saidah yang nyaris menyeret umat Islam kejurang perpecahan akan terulang
kembali.
b. Kaum Ansar dan Kaum Muhajirin saling mengklaim sebagai golongan yang berhak
menjadi khalifah.
c. Umat Islam pada saat itu baru saja menumpas kaum murtad dan pembangkang.
d. Sebagian pasukan mujahidin sedang
bertempur di luar kota Madinah melawan tentara Persia dan Romawi.
3. Ekspansi Islam Masa Pemerintahan Kahalifah Umar ibn
Al- Khattab
Selama sepuluh tahun
pemerintahan Umar (13 H/ 634 M- 23 H/ 644 M), sebagian besar ditandai oleh
penaklukan-penaklukan untuk melebarkan Islam ke luar Arab. Sejarah mencatat,
Umar telah berhasil membebaskan negeri- negeri jajahan Imperium Romawi dan
Persia yang dimulai dari awal pemerintahannya, bahkan sejak pemerintahan
sebelumnya. Segala tindakan yang dilakukan untuk menghadapi dua kekuatan itu
jelas bukan hanya menyangkut kepentingan keagamaan saja, namun juga untuk
kepentingan politik.
Faktor- faktor yang
melatarbelakangi timbulnya konflik antara umat Islam dengan Romawi dan Persia
antara lain :
a. Bangsa Romawi dan Persia tidak menaruh hormat terhadap maksud baik Islam.
b. Semenjak Islam masih lemah, Romawi dan Persia selalu berusaha menghancurkan
Islam.
c. Bangsa Romawi dan Persia sebagai Negara yang subur dan terkenal dengan
kemakmurannya, tidak berkenan menjalin hubungan perdagangan dengan negeri-
negeri Arab.
d. Bangsa Romawi dan Persia bersikap ceroboh menghasut suku- suku Badui untuk
menentang Islam.
e. Letak geografis kekuasaan Romawi dan Persia sangat strategis untuk
kepentingan keamanan dan pertahanan islam.
D. Khalifah Utsman
bin Affan ( Tahun 23 H- 35 )
1.
Kelahiran Utsman Bin Affan
Nama beliau adalah
Utsman bin 'Affan
bin Abil 'Ash bin
Umayyah bin Abdisy
Syams bin Abdi
Manaf bin Qusyai bin
Kilab. Beliau dilahirkan pada
tahun 576 M di Mekah enam tahun
setelah tahun ga jah, menurut
pendapat yang shahih.
Beliau tumbuh diatas akhlak
yang mulia dan
perangai yang baik. Beliau
sangat pemalu, bersih
jiwa dan suci
lisannya, sangat sopan santun,
pendiam dan tidak
pernah menyakiti orang lain.
Beliau suka ketenangan
dan tidak suka keramaian atau kegaduhan, perselisihan, teriakan keras.
Dan beliau rela
mengorbankan nyawanya demi
untuk menjauhi hal-hal tersebut.
Dan karena kebaikan akhlak
dan mu'amalahnya, beliau dicintai oleh
Quraisy, hingga mereka pun menjadikannya sebagai perumpamaan.
Dari sini Imam Asy-S ya'bi mengatakan
: "Dahulu Utsman
sangat dicintai oleh orang-orang
Quraisy, mereka menjadikannya sebagai
suri taudalan, mereka memuliakannya. Sampai-sampai
para ibu dari kalangan
orang-orang Arab, jika
menghibur anaknya, dia mengatakan
: Demi Allah yang Maha Penyayang, aku
mencintaimu seperti kecintaan Quraisy kepada Utsman .
Ibu Khalifah Utsman bin Affan adalah Urwy bin Kuriz bin Rabiah. Utsman bin
Affan masuk Islam pada usia 30 tahun atas ajakan Abu Bakar. Sesaat setelah
masuk Islam, ia sempat mendapatkan siksaan dari pamannya, Hakam bin Abil Ash.
Ia dijuluki dzun nurain, karena menikahi dua putri Rasulullah SAW
secara berurutan setelah yang satu
meninggal, yakni Ruqayyah dan Ummu Kalsum.
2.
Pengangkatan Khalifah Usman bin Affan
Panitia pemilihan Khalifah, memilih Usman menjadi
Khalifah ketiga menggantikan Umar bin Khattab. Pemerintahan Usman bi Affan ini
berlangsung dari tahun 644 sampai 656 M. ketika Usman dipilih, Usman telah tua
( 70 tahun) dengan kepribadian yang agak lemah.
Kelemahan ini dipergunakan oleh orang- orang di sekitarnya untk mengejar
keuntungan pribadi, kemewahan dan kekayaan. Hal ini dimanfaatkan terutama oleh
keluarganya sendiri dari golongan Umayyah. Banyak pangkat- pangkat tinggi dan
jabatan- jabatn penting dikuasai oleh familinya. Pelaksanaan pemerintahan
seperti ini, dalam bahasa orang sekarang disebut nepotisme (kecenderungan untuk
mengutamakan atau menguntungkan sanak saudara (keluarga sendiri ).
3.
Penyebaran Islam pada Masa Khalifah Utsman Bin Affan
Pada masa pemerintahannya perluasan daerah Islam
diteruskan ke Barat sampai Maroko, ke timur menuju India dan ke utara bergerak
ke arah Konstantinopel. Pada umumnya perluasan wilayah Islam ini di lakukan
karena memenuhi kehendak jenderal- jenderalnya.
Namun pada saat Utsman bin Affan menjabat sebagai Khalifah Utsman di tuduh
oleh sebahgian sahabat telah mengangkat familinya untuk menduduki jabatan-
jabatan istana. Pemberontakan di mulai di Mesir, kemudian orang- orang yang
sudah terbakar emosinya datang ke Madinah, tempat tinggal Khalifah. Ia dikepung
di rumahnya, karena menolak untuk menyerah maka ia dibunuh oleh salah seorang
pengacau, peristiwa itu terjadi pada tahun 656 H, kemudian dipilihlah
penggantinya yang akhirnya dipegang oleh Ali bin Abi Thalib.
4.
Peradaban pada masa Khalifah Utsman bin Affan
Di antara jasa- jasa
Usman Bin Affan yang lain adalah tindakannya untuk menyalin dan membuat Al-Qur’an
standar, yang di dalam kepustakaan disebut dengan kodifikasi al Quran.[9]
Standarisasi Al-Qur’an perlu diadakan, karena pada
masa pemerintahannya wilayah Islam telah sangat luas dan didiami oleh berbagai
suku bangsa dengan berbagai bahasa dan dialek yang tidak sama. Karena itu, di
kalangan pemeluk agama Islam terjadi perbedaan ungkapan dan ucapan tentang ayat- ayat al quran yang
disebarkan melalui hafalan. Perbedaan cara mengucapkan itu menimbulkan
perbedaan arti. Berita tentang ini sampai pada Usman. Ia lalu membentuk Panitia yang kembali di pimpin oleh Zaid bin Tsabit
untuk menyalin naskah Al-Qur’an yang telah dihimpun di masa Khalifah Abu Bakar
dahulu, disimpan oleh Hafsah, janda Nabi Muhammad SAW. Panitia ini bekerja
dengan satu disiplin tertentu, menyalin naskah Al-Qur’an ke dalam lima Mushaf
(kumpulan lembaran- lembaran yang ditulis, dan Al- Qur’an itu sendiri disebut
pula Mushaf), untuk di jadikan standar dalam penulisan dan bacaan Al-Qur’an di
wilayah kekuasaan Islam pada waktu itu. Semua naskah yang dikirim ke ibukota
Propinsi ( Makkah, Kairo, Damaskus, Baghdad) itu di simpan dalam masjid. Satu
naskah tinggal di Madinah untuk mengenang jasa Usman, naskah yang disalin di
masa pemerintahnnya itu disebut Mushaf Usmany atau al- Imam karena ia
menjadi standar bagi Al-Qur’an yang lain. Kemudian disalin dan diberi tanda-
tanda bacaan di Mesir seperti yang kita lihat sekarang ini. [10]
E. Khalifah Ali
bin Abi Thalib ( Tahun 35 H- 40 H)
1.
Kelahiran Khalifah Ali bin Abi Thalib
Khalifah Ali bin Abi Thalib dilahirkan hari Jum'at, 13 bulan Rajab, 12 tahun sebelum
Nabi Muhammad SAW mendapat risalah, Sepanjang ingatan orang, inilah untuk
pertama kali seorang wanita melahirkan putranya dalam Ka'bah. Kelahiran bayi
ini hanya disaksikan oleh ayah bundanya saja. Kejadian yang luar biasa ini,
beritanya segera tersiar ke berbagai penjuru. Berbondong- bondonglah mereka,
terutama keluarga Bani Hasyim, datang ke Ka'bah, guna menyaksikan bayi yang
baru lahir. Di antara yang datang ialah Nabi Muhammad SAW Bayi ini saudara
misan beliau sendiri. Beliau menggendong bayi tersebut, kemudian bersama
ayah-ibunya pulang ke rumah Abu Thalib.
Ketika di bawah asuhan Rasul Allah SAW Imam Ali
r.a. pernah diberi julukan "Abu Turab", yang artinya "Si
Tanah". Pemberian julukan itu erat kaitannya dengan peristiwa ditemuinya
Imam Ali r.a. di satu hari sedang tidur berbaring di atas tanah. Yang
menemuinya Nabi Muhammad s.a.w. sendiri. Beliau menghampirinya dan duduk dekat
kepalanya sambil mengusap-usap punggungnya guna membuang debu-tanah. Kemudian
Nabi Muhammad s.a.w. membangunkannya seraya berkata: "Duduklah, engkau hai
Abu Turab!" Nama Abu Turab ini paling di sukai oleh Imam Ali r.a. Ia
sangat bangga bila dipanggil dengan nama itu.[11]
2.
Proses Pengangkatan Ali bin Abi Thalib
Menurut penuturan Abu Mihnaf, sebagaimana
tercantum dalam Syarh Nahjil Balaghah, jilid IV, halaman 8, dikatakan, bahwa ketika
itu kaum Muhajirin dan Anshar berkumpul di masjid Rasul Allah s.a.w. Dengan
harap-harap cemas mereka menunggu berita tentang siapa yang akan menjadi
Khalifah baru. Masjid yang menurut ukuran masa itu sudah cukup besar, penuh
sesak di banjiri orang. Di antara tokoh-tokoh muslimin yang menonjol tampak
hadir Ammar bin Yasir, Abul Haitsam bin At Thaihan, Malik bin 'Ijlan dan Abu
Ayub bin Yazid. Mereka bulat berpendapat, bahwa hanya Ali bin Abi Thalib r.a.
lah tokoh yang paling mustahak dibai'at.
Di antara mereka yang paling gigih berjuang agar Imam Ali r.a. dibai'at
ialah Ammar bin Yasir. Dalam mengutarakan usulnya, pertama-tama Ammar
mengemukakan rasa syukur karena kaum Muhajirin tidak terlibat dalam pembunuhan
Khalifah Utsman r.a. Kepada kaum Anshar,
Ammar menyatakan, jika kaum Anshar hendak mengkesampingkan kepentingan mereka
sendiri, maka yang paling baik ialah membai'at Ali bin Abi Thalib sebagai
Khalifah. Ali bin Abi Thalib, kata Ammar, mempunyai keutamaan dan ia pun orang
yang paling dini memeluk Islam. Kepada kaum Muhajirin, Ammar mengatakan: kalian
sudah mengenal betul siapa Ali bin Abi Thalib. Oleh karena itu aku tak perlu
menguraikan kelebihan-kelebihannya lebih panjang lebar lagi, kita tidak melihat
ada orang lain yang lebih tepat dan lebih baik untuk diserahi tugas itu! Usul
Ammar secara spontan di sambut hangat dan didukung oleh yang hadir. Malahan
kaum Muhajirin mengatakan: "Bagi kami, ia memang satu-satunya orang yang
paling afdhal!" Setelah tercapai kata sepakat, semua yang hadir berdiri serentak, kemudian berangkat
bersama-sama ke rumah Imam Ali r.a.
Di depan rumahnya mereka beramai-ramai minta dan
mendesak agar Imam Ali r.a. keluar. Setelah Imam Ali r.a. keluar, semua orang
berteriak agar ia bersedia mengulurkan tangan
sebagai tanda persetujuan dibai'at menjadi Amirul Mukminin. Pada mulanya
Imam Ali r.a. menolak dibai'at sebagai Khalifah. Dengan terus terang ia
menyatakan : "Aku lebih baik menjadi wazir yang membantu dari pada menjadi
seorang Amir yang berkuasa. Siapa pun yang kalian bai'at sebagai Khalifah, akan
aku terima dengan rela. Ingatlah, kita akan menghadapi banyak hal yang
menggoncangkan hati dan fikiran." Jawaban Imam Ali r.a. yang seperti itu
tak dapat di terima sebagai alasan oleh banyak kaum muslimin yang waktu itu
datang berkerumun di rumahnya. Mereka tetap mendesak atau setengah memaksa,
supaya Imam Ali r.a. bersedia di bai'at oleh mereka sebagai Khalifah. Dengan
mantap mereka menegaskan pendirian: "Tidak ada orang lain yang dapat
menegakkan pemerintahan dan hukum-hukum Islam selain anda. Kami khawatir
terhadap umat Islam, jika ke khalifahan jatuh ketangan orang lain".
Beberapa saat lamanya terjadi saling-tolak dan
saling tukar pendapat antara Imam Ali r.a. dengan mereka. Para sahabat Nabi
Muhammad SAW dan para pemuka kaum Muhajirin dan Anshar mengemukakan alasannya
masing-masing tentang apa sebabnya mereka mempercayakan kepemimpinan tertinggi
kepada Imam Ali r.a. Betapapun kuat dan benarnya alasan yang mereka ajukan Imam
Ali r.a. tetap menyadari, jika ia menerima pembai'atan mereka pasti akan
menghadapi berbagai macam tantangan dan kesulitan gawat. Baru setelah Imam Ali
r.a. yakin benar, bahwa kaum muslimin memang sangat menginginkan pimpinannya,
dengan perasaaan berat ia menyatakan
kesediaannya untuk menerima pembai'atan mereka. Satu-satunya alasan yang
mendorong Imam Ali r.a. bersedia di bai'at, ialah demi kejayaan Islam, keutuhan
persatuan dan kepentingan kaum muslimin. Rasa tanggung jawabnya yang besar atas
terpeliharanya nilai-nilai peninggalan Rasul Allah SAW membuatnya siap menerima
tanggung jawab berat di atas pundaknya. Sungguh pun demikian, ia tidak pernah
lengah, bahwa situasi yang ditinggalkan oleh Khalifah Utsman r.a. benar-benar
merupakan tantangan besar yang harus di tanggulangi.
Keputusan Imam Ali r.a. untuk bersedia di bai'at
sebagai Amirul Mukminin di sambut dengan perasaan lega dan gembira oleh
sebagian besar kaum muslimin. Kepada mereka Imam Ali r.a. meminta supaya
pembai'atan dilakukan di masjid agar dapat di saksikan oleh umum. Kemudian Imam
Ali r.a. juga memperingatkan, jika sampai ada seorang saja yang menyatakan
terus terang tidak menyukai dirinya, maka ia tidak akan bersedia dibai'at.
Mereka dapat menyetujui permintaan Imam Ali r.a., lalu ramai-ramai pergi menuju
masjid. Setibanya di Masjid, ternyata orang pertama yang menyatakan bai'atnya
ialah Thalhah bin Ubaidillah. Menyaksikan kesigapan Thalhah itu, seorang
bernama Qubaisah bin Dzuaib Al Asadiy menanggapi: "Aku Khawatir,
jangan-jangan pembai'atan Thalhah itu tidak sempurna" Ia mengucapkan
tanggapannya itu karena tangan Thalhah memang lumpuh sebelah. Orang lain
membiarkan komentar itu lewat begitu saja. Zubair bin Al-'Awwam segera
mengikuti jejak Thalhah menyatakan bai'at kepada Imam Ali r.a. Sesudah itu
barulah kaum Muhajirin dan Anshar menyatakan bai'atnya masing-masing. Yang
tidak ikut menyatakan bai'at ialah Muhammad bin Maslamah, Hasan bin Tsabit,
Abdullah bin Salam, Abdullah bin Umar, Usamah bin Zaid, Saad bin Abi Waqqash,
dan Ka'ab bin Malik. Tata cara pembai'atan dilakukan menurut prosedur sebagaimana
yang lazim berlaku atas diri Khalifah-khalifah sebelumnya. Sesuai dengan
tradisi pada masa itu, sesaat setelah dibai'at
3. Peristiwa Tahkim Pada Masa Ali bin Abi Thalib
Konflik politik antara Ali bin Abi Thalib dengan
Muawwiyah Ibn Abi Sufyan diakhiri dengan Tahkim. Dari pihak Ali Ibn Abi
Thalib diutus seorang ulama yang terkenal sangat jujur dan tidak “ cerdik”
dalam politik yaitu Abu Musa Al Asyari. Sebaliknya dari pihak Muawiyah Ibn Abi
Sufyan diutus seorang yang sangat terkenal sangat “cerdik” dalam berpolitik
yaitu Amr ibn Ash.
Dalam tahkim tersebut, pihak Ali bin Abi Thalib
dirugikan oleh pihak Muawiyah Ibn Abi Sufyan karena kecerdikan Amr Ibn Ash yang
dapat mengalahkan Abu Musa Al Asyari. Pendukung Ali bin Abi Thalib, kemudian
terpecah menjadi dua, yaitu kelompok pertama adalah mereka yang secara terpaksa
menghadapi hasil Tahkim dan mereka tetap setia kepada Ali bin Abi Thalib,
sedangkan kelompok yang kedua adalah kelompok yang menolak hasil Tahkim dan kecewa
terhadap kepemimpinan Ali bin Abi Thalib yang kemudian melakukan gerakan
perlawanan terhadap semua pihak yang terlibat dalam Tahkim, termasuk Ali bin
Abi Thalib. [12]
Khalifah Ali bin Abi Thalib menjalankankan roda pemerintahannya selama
lebih kurang 5 Tahun.
[1]
Samsul Munir Amin, Sejarah Peradaban Islam, (jakarta:
Amzah, 2009), h.93.
[2]
Badri Yatim, Sejarah
Peradaban Islam, (Jakarta: Penerbit PT Raja Grafindo Persada, 2000), h. 35.
[3]
Ali Mufrodi,Islam di Kawasan Kebudayaan Arab, (Jakarta: Penerbit
Logos, 1997), h.45
[4]
Dedi supriyadi, Sejarah Peradaban Islam, (Bandung;
Penerbit CV Pustaka Setia, 2008), h 68.
[5]
Samsul Munir Amin Op., Cit, h.94-95.
[6]
Ibid., 96-98.
[7]
Hasan Ibrahim Hasan, Sejarah dan Kebudayaan Islam, ( Jakarta: Kalam
Mulia, 2001), h.407
[8]
Samsul Munir Amin Op., Cit, h.98.
[9]
Muhammad Daud Ali, Hukum Islam
(Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia,
(Jakarta : PT Raja Grafindo
Persada, 2006), h.178-179
[10]
Ibid.,
[11] Al Hamid Al Husaini, Sejarah Hidup Ali Bin Abi Thalib , (Jakarta :
Lembaga Penyelidikan Islam, 1981), h. 6-7
[12]
Dedi Supriyadi, Op.cit